cover
Contact Name
Fuad Mustafid
Contact Email
fuad.mustafid@uin-suka.ac.id
Phone
+6281328769779
Journal Mail Official
asy.syirah@uin-suka.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
ISSN : 08548722     EISSN : 24430757     DOI : 10.14421/ajish
Core Subject : Religion, Social,
2nd Floor Room 205 Faculty of Sharia and Law, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, Marsda Adisucipto St., Yogyakarta 55281
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 56, No 2 (2022)" : 8 Documents clear
Legal Protection for Workers Affected by Layoffs in Indonesian Laws and Regulations Mustika Prabaningrum Kusumawati; Ahmad Khairun Hamrany
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.954

Abstract

Abstract: This article explores the legal framework in Indonesia that offers protection to workers affected by Termination of Employment (Pemutusan Hubungan Kerja/PHK). It draws upon a range of data sources, including official state documents, laws and regulations, research studies, and relevant literature. Employing a normative-juridical approach, this study concludes that Indonesian laws and regulations provide comprehensive legal protection to workers during and after their employment period. Therefore, Indonesian laws and regulations prohibit layoffs except for justifiable reasons. Additionally, in cases where layoffs are inevitable, employers must offer severance pay and compensation to affected workers. Second, if there is a discrepancy between employers and workers regarding terminating the employment relationship (PHK), the law provides a resolution mechanism through Industrial Relations Dispute Settlement. This can be achieved through bipartite, tripartite negotiations and the industrial relations courts. All of these legal provisions aim to safeguard workers' rights adversely impacted by layoffs.Abstrak: Artikel ini mengkaji persoalan perlindungan hukum bagi pekerja yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber data dalam artikel ini berupa dokumen-dokumen resmi negara, peraturan perundang-undangan, dan karya-karya ilmiah yang terkait dengan topik kajian ini. Menggunakan pendekatan normatif-yuridis, artikel ini menyimpulkan bahwa, peraturan perundang-undangan Indonesia secara jelas memberikan perlindungan hukum kepada pekerja, baik ketika masih berada dalam masa kerja maupun setelah berakhirnya hubungan kerja. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan Indonesia pada prinsipnya melarang dilakukannya PHK, kecuali ada alasan yang bisa dibenarkan. Selain itu, artikle ini juga menyimpulkan bahwa para pengusaha atau perusahaan yang melakukan PHK dikenai kewajiban oleh undang-undang untuk memberikan uang pesangon dan juga uang penghargaan kepada para pekerja yang di-PHK. Bukan hanya itu, ketika terjadi ketidakesesuaian antara pengusaha dan pekerja mengenai pengakhiran hubungan kerja (PHK), undang-undang juga memberikan mekanisme penyelesaiannya melalui Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, baik melalui perundingan bipartit, tripartit mapun pengadilan hubungan industrial. Kesemuanya itu merupakan bagian dari upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja yang terkena PHK.Keywords: industrial relations; workers affected by layoffs; legal protection
Ta’aruf Rules in Digital Room: Study of Matchmaking Process on Biro Jodoh Rumaysho Social Media Dwi Sri Handayani
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1041

Abstract

Abstract: This study examines the online taa'ruf process through social media that is run by the Biro Jodoh Rumaysho (BJR) and at the same time the reciprocal relationship between managers and participants. Basically, this is a field research, however, in extracting the data, it relies a lot on the internet, so this research can also be categorized as a netnographic study. The results of this study indicate that the Rumaysho Matchmaking Bureau has facilitated many people who want to find a life partner through the stages of ta'aruf. These services are carried out online through social media, such as Instagram, Facebook, and also the Website. The success rate of ta'aruf with this model is relatively high because it has been filtered based on the criteria desired by each potential partner. The ta'aruf process which is carried out in this way has led to a social phenomenon in society which makes ta'aruf a religious and also economic spirit, both for implementing agencies and participants where there is mutuality between the two.Abstrak: Penelitian ini mengkaji proses taa’ruf secara online yang dijalankan oleh Biro Jodoh Rumaysho dan sekaligus hubungan timbal balik antara pengelola dengan peserta. Pada dasarnya ini merupakan penelitian lapangan namun dalam penggalian datanya banyak bergantung pada internet sehingga penelitian ini juga bisa dikategorikan sebagai studi netnografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Biro Jodoh Rumaysho telah banyak memfasilitasi masyarakat yang ingin mencari pasangan hidup melalui tahapan ta’aruf. Layanan tersebut dilakukan secara daring melalui media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan juga Website. Tingkat keberhasilan ta’aruf dengan model ini relatif tinggi karena telah dilakukan penyaringan berdasarkan kriteria yang diinginkan oleh masing-masing calon pasangan. Proses ta’aruf yang dilakukan dengan cara demikian telah memunculkan fenomena sosial masyarakat yang menjadikan ta’aruf sebagai spirit keagamaan dan juga ekonomi, baik untuk lembaga pelaksana maupun peserta yang mana terjadi mutualan di antara keduanya.
Debates in Modern Economic Transactions: Assessing the Gopay Agreement in the Perspective of Indonesian Ulama Khadijatul Musanna; Ali Sodiqin
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1040

Abstract

Abstract: This article examines the debates of Indonesian scholars regarding the Gopay contract and the law of its transactions. This article attempts to answer two questions: why do the scholars have different opinions about the Gopay contract? And what are the legal consequences of these different opinions? Using a normative approach and Sharia contract theory, the following conclusions are obtained: first, scholars differ in opinion regarding the contract used in Gopay. The Fatwa Council of Al-Irsyad and Erwandi Tarmizi believe that the contract in Gopay is a qardh contract or debt. So, making transactions with the Gopay application is unlawful because it contains elements of usury (riba), namely discounts given by Gojek to customers. Muhammadiyah believe that Gopay transaction could be categorized as ijarah maushufah fi dzimmah scheme. So, making transaction with it is permissible as for other marketing. Meanwhile, Nahdlatul Ulama and DSN-MUI scholars believe that the Gopay contract as a wadi’ah (safekeeping) contract. So, making transactions with the Gopay application is permissible because the discount given by Gojek to customers or consumers is just a gift or bonus and does not include usury. This article finds that in assessing cases of modern transactions, apart from the perspective of halal and haram, contemporary scholars also seem confused as to which scheme is suitable for such transactions. Thus, in the case of Gopay, there are three schemes that appear in the opinion of scholars, namely qardh, wadī’ah, and ijarah maushufah fi dzimmah contracts.Abstrak: Artikel ini mengkaji perdebatan para ulama Indonesia terkait akad Gopay dan hukum bertransaksi dengannya. Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab dalam artikel ini: mengapa para ulama berbeda pendapat tentang akad dalam Gopay?, dan apa konsekuensi hukum dari perbedaan pendapat tersebut? Menggunakan pendekatan normatif dan teori perjanjian syariah diperoleh simpulan sebagai berikut: pertama, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait akad yang digunakan dalam Gopay. Dewan Fatwa Al-Irsyad dan Erwandi Tarmizi berpendapat bahwa akad dalam Gopay adalah akad qardh atau hutang piutang sehingga melakukan transaksi dengannya adalah haram karena di dalamnya mengandung unsur riba, yakni adanya diskon yang diberikan oleh pihak Gojek kepada pelanggan atau konsumen. Muhammadiyah menyatakan bahwa Gopay merupakan skema ijarah maushufah fi dzimmah sehingga transaksinya diperbolehkan sebagaikmana transaksi muamalah lain dalam perdagangan. Sementara para ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama dan DSN-MUI memandang bahwa akad Gopay adalah akad wadi’ah (penitipan). Oleh sebab itu, melakukan transaksi dengan aplikasi Gopay adalah boleh karena diskon yang diberikan pihak Gojek kepada para pelanggan atau konsumen hanyalah sebuah hadiah atau bonus semata dan hal itu tidak termasuk riba. Artikel ini menemukan bahwa dalam menilai transaksi dalam ekonomi modern, selain dari perspektif halal dan haram, para ulama kontemporer juga tampak kebingungan untuk menilai skema yang cocok untuk transaksi tersebut. Oleh karena itu, dalam kasus Gopay, ada tiga skema yang muncul dalam penilaian ulama, yaitu akad qardh, wadi’ah, dan ijarah maushufah fi dzimmah. Keywords: Gopay Agreement; Qardh; Wadi’ah; usury; gifts; Sharia agreement 
The Ineffectiveness of Mediation in Divorce Disputes: A Case Study in the Palembang Religious Court Sri Turatmiyah; Joni Emirzon; Annalisa Y; Haniyatul Husna binti Md Mohtar
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1232

Abstract

Abstract: This article examines the ineffective of the mediation process in divorce disputes at the Palembang Religious Court during the period from 2020 to 2022. Data was collected through observations, documentation, and interviews with litigants and judges involved in divorce cases at the Palembang Religious Court. Relying on the legal effectiveness theory, the study found that over a span of three years (2020, 2021, and 2022), the Palembang Religious Court successfully mediated only 33 divorce disputes (0.45%) out of a total of 7,338 cases. This indicates that mediation of divorce disputes at the court has not been effectively implemented. The article also reveals several factors contributing to this ineffectiveness, including (1) the complex background and reasons for the parties involved in the disputes, (2) an imbalance between the number of mediator judges and the number of cases brought to the court, (3) a lack of good faith on the part of the parties to engage in the mediation process, (4) inadequate resources and facilities, and (5) a low legal culture and poor legal awareness among the litigants. These findings reinforce the results of previous research on the ineffectiveness of mediation in divorce lawsuits in various courts across Indonesia.Abstrak: Artikel ini mengkaji problem tidak efektifnya proses mediasi sengketa perceraian di Pengadilan Agama Palembang selama rentang waktu 2020 hingga 2022. Data dikumpulkan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara dengan sejumlah narasumber, baik yang berperkara maupun yang menangani perkara perceraian di Pengadian Agama Palembang. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun (2020, 2021 dan 2022), Pengadilan Agama Palembang hanya berhasil memediasi 33 sengketa perceraian (0.45%) dari total 7.338 sengekta perceraian. Hal ini membuktikan bahwa mediasi sengketa perceraian di Pengadilan Agama Palembang belum berjalan secara efektif. Artikel ini juga menemukan bahwa penyebab tidak efektifnya proses mediasi di Pengadilan Agama Palembang, yakni (1) kompleksnya latar belakang alasan para pihak yang bersengketa atau mengajukan perceraian, (2) tidak berimbangnya rasio jumlah hakim mediator dengan banyaknya jumlah perkara yang masuk ke pengadilan, (3) tidak adanya itikad baik dari para pihak untuk melakukan proses mediasi, (4) sarana dan fasilitas yang tidak memadai, dan (5) budaya hukum yang rendah dan minimnya pengetahuan dan kesadaran hukum di kalangan para pihak yang bersengketa. Temuan ini menguatkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang tidak efektifnya mediasi dalam sengketa perceraian di berbagai Pengadilan di Indoensia. Keywords: The effectiveness of mediation; divorce disputes; the Palembang Religious Court 
Legal Effects of the Constitutional Court's Ruling Against Marital Agreement in Mixed Marriages Maulidia Mulyani
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.660

Abstract

Abstract: Prior to the issuance of the Constitutional Court (MK) decision Number 69/PUU-XIII/2015, some mixed-marriage couples complained about the state policy that does not allow mixed-marriage couples to own assets, both in the form of building use rights (HGB) and business use rights (HGU). This article examines a marriage agreement made by a mixed marriage couple, namely Indonesian and foreign couples after the Constitutional Court decision Number 69/PUU-XIII/2015. Two fundamental issues are the focus of this article, namely how is the legal impact of the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 on marriage agreements in mixed marriages, and what are the legal consequences of the Constitutional Court Decision? The following findings were obtained using a juridical-normative approach and utilizing Gustav Radburch's theory of the legal purpose: first, after the Constitutional Court decision the perpetrators of mixed marriages had a looser time to make a marriage agreement. They can agree before the marriage contract or during the marriage bond. Second, a marriage agreement made during the marriage period will be valid the moment after it is made, and the separation of the joint property of both parties can immediately follow it. Third, when viewed from the theory of Gustav Radburch's legal objectives, the Constitutional Court Decision has fulfilled the purpose of making law: the realization of justice, certainty, and legal expediency. However, on the other hand, the Constitutional Court ruling has also put third parties in a vulnerable position.Abstrak: Sebelum terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015, beberapa pasangan perkawinan campuran mengeluhkan kebijakan negara yang tidak memperbolehkan pasangan perkawinan campuran untuk memiliki aset, baik berupa hak guna bangunan (HGB) maupun hak guna usaha (HGU). Artikel ini mengkaji sebuah perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pasangan perkawinan campuran, yaitu pasangan WNI dan WNA pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015. Ada dua persoalan mendasar yang menjadi fokus artikel ini, yakni bagaimana dampak hukum yang ditimbulkan dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran, dan bagaimana dampak hukum Putusan MK tersebut? Menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan memanfaatkan teori tujuan hukum Gustav Radburch diperoleh temuan sebagai berikut: pertama, pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, para pelaku perkawinan campuran memiliki waktu yang lebih longgar untuk membuat perjanjian perkawinan. Mereka bisa membuat perjanjian sebelum dilakukannya akad perkawinan ataupun selama dalam ikatan perkawinan. Kedua, perjanjian perkawinan yang dibuat dalam masa perkawinan akan berlaku sah pada saat setelah dibuat, dan hal itu bisa langsung diikuti dengan pemisahan harta bersama kedua belah pihak. Ketiga, jika dilihat dari teori tujuan hukum Gustav Radburch maka Putusan MK tersebut telah memenuhi tujuan dibuatnya hukum, yakni terwujudnya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Akan tetapi, di sisi lain, Putusan MK tersebut, juga telah menjadikan pihak ketiga berada dalam posisi rentan.Keyword: Constitutional Court Decision; legal effect: marriage agreement; mixed marriage.
Rethinking the Minimum Age of Marriage Law in Indonesia: Insights from Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s Epistemology Ahmad Ropei; Adudin Alijaya; Muhammad Zaki Akhbar Hasan; Fakhry Fadhil
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1111

Abstract

Abstract: This article analyzes the renewal of Indonesia’s minimum age of marriage law. Previously, the legal age for men was 19 years, and for women was 16 years. However, Law No. 16 of 2019 amended the law, setting the minimum age of marriage at 19 years for both genders. Notably, this increase for women contradicts certain fiqh texts and is the highest age limit among several Muslim countries. This study employs Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s bayānī (indication/explication) and burhānī (demonstration/proof) epistemology to examine the subject. This article identifies the ideal age range for marriage as 19 to 25 years, when individuals reach balig (maturity) and rusydan (legal capacity), demonstrating readiness and mental maturity for marital life. The renewal of Indonesia’s marriage age limit aligns with Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s epistemology, which integrates naṣ (Al-Qur’an and hadīth) with rational reasoning and empirical evidence.Abstrak: Artikel ini menganalisis pembaruan ketentuan batas usia perkawinan di Indonesia. Sebelumnya, batasan usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Setelah diubah melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, ketentuan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu 19 tahun. Peningkatan batas usia perkawinan bagi perempuan di Indonesia ini menarik untuk dikaji dan dianalisis, karena bertentangan dengan sejumlah teks fikih dan sekaligus paling tinggi di antara beberapa negara muslim lainnya. Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan yang dianalisis menggunakan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī. Artikel ini menemukan bahwa kriteria ideal batas minimal usia perkawinan berada pada rentang usia 19 sampai dengan 25 tahun. Pada rentang usia tersebut, pasangan calon pengantin telah memasuki masa baligh dan sekaligus cakap hukum (rusydan) sehingga mereka telah memiliki kesiapan dan kematangan mental untuk melangsungkan perkawinan dan menjalani kehidupan rumah tangga. Pembaruan batas usia perkawinan di Indonesia tersebut sesuai dengan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī karena ketentuan tersebut tetap mengacu pada naṣ (Al-Qur’an dan hadis) yang dilengkapi dengan penalaran rasional dan bukti-bukti empiris.Keywords: Minimum age of marriage; bayānī; burhānī; marriage law; Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī
Liability for Nuclear Damage: Perspectives of International Conventions, Indonesian Positive Law, and Islamic Law Gumilang Fuadi; Muchammad Ichsan
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1223

Abstract

Abstract:Utilization of nuclear energy for nuclear power plants (PLTN/NPP) has great benefits for human life and, at the same time, can also cause an enormous negative impact in the event of an accident. And it is necessary to take responsibility for nuclear losses that might occur. This article examines the liability for nuclear damage from the perspective of international conventions, Indonesian positive law, and Islamic law. This article is a normative-doctrinal study. Using a conceptual, statutory, and comparative approach, this article concludes that there are similarities regarding the principle of liability for nuclear damage in the three legal systems (international conventions, Indonesian positive law, and Islamic law), namely that both adhere to the principle of strict liability, although in Islamic law it is not stated explicitly. On the other hand, some differences between the three legal systems, especially regarding the form of liability and the amount of compensation or compensation that must be given. In international conventions and Indonesian positive law, the responsibility for nuclear damage is attached to the nuclear operator, while in Islamic law, the responsibility for losses is borne by the party carrying out the damage. As for the limit for giving compensation, international conventions and Indonesian positive law have definitively determined it, while in Islamic law, the limit for giving compensation can be determined according to several models, namely: according to mutual agreement (at-taqdīr al-ittifāqi); based on the judge's decision (at-taqdīr al-qadāi), and based on the provisions of the legislature (at-taqdīr asy-syār'i).Abstrak:Pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan umat manusia dan sekaligus juga dapat menimbulkan dampak negatif yang besar apabila terjadi kecelakaan. Oleh karena itu diperlukan pertanggungjawaban atas kerugian nuklir yang mungkin saja terjadi. Artikel ini mengkaji pertanggungjawaban kerugian nuklir dari sudut pandang konvensi internasional, hukum positif Indonesia, dan hukum Islam. Artikel ini merupakan kajian normatif-doktriner. Menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undangan, dan perbandingan, artikel ini menyimpulkan bahwa terdapat persamaan mengenai prinsip pertanggungjawaban kerugian nuklir dalam ketiga sistem hukum tersebut (konvensi internasional, hukum positif Indonesia, dan hukum Islam), yakni sama-sama menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), meskipun dalam hukum Islam tidak dinyatakan secara eksplisit. Di sisi lain, artikel ini juga menemukan adanya beberapa perbedaan di antara ketiga sistem hukum tersebut, terutama mengenai bentuk pertanggungjawaban dan besaran konpensasi atau ganti rugi yang harus diberikan. Dalam konvensi internasional dan hukum positif Indonesia, pertanggungjawaban kerugian nuklir melekat pada operator nuklir, sementara di dalam hukum Islam, pertanggungjawaban kerugian dibebankan kepada pihak yang melakukan tindakan kerusakan. Adapun berkaitan dengan batas pemberian ganti rugi, konvensi internasional dan hukum positif Indonesia telah menetapkannya secara definitif, sementara di dalam hukum Islam, batas pemberian ganti rugi bisa ditetapkan dengan beberapa model, yakni sesuai kesepakatan bersama (at-taqdīr al-ittifāqi); berdasarkan keputusan hakim (at-taqdīr al-qadāi), dan berdasarkan ketetapan pembuat undang-undang (al-taqdīr al-syār 'i).Keywords: Liability for nuclear damage; international conventions; Indonesian positive law; Islamic law
Expulsion for Adultery Perpetrators Muhshan at Panyabungan: An Islamic Law Perspective Arbanur Rasyid
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1157

Abstract

Abstract: This article examines the practice of expelling perpetrators muhshan in the Panyabungan society, which normatively (Islamic law) should be punished by stoning. This phenomenon is fascinating to study because the Panyabungan people are Islamic followers who are very fanatical and have a strong religion. This article is based on field data supplemented by library data. Three fundamental issues are examined in this article, namely the process of enforcing customary law for adulterers muhshan in Panyabungan society, the argument for the application of expulsion punishment to adulterers' muhshan, and how Islamic law views the practice of expulsion in the case of adultery. Uses a normative and sociological approach this article finds the fact that the practice of expulsion of adulterers muhshan in Panyabungan is enforced if the perpetrator has been proven to have committed adultery. The practice of expelling the perpetrators of muhshan adultery is carried out for two reasons: following the traditions or customs that have been in effect and the impossibility of applying the stoning law in Indonesia. This article also finds evidence that the purpose of imposing the penalty of expulsion for adulterers muhshan in Panyabungan is to give a deterrent effect to the perpetrators of adultery and, at the same time as a preventive measure for people not to commit adultery. In addition, the punishment is also intended to maintain the excellent name and cleanliness of the village from disobedience acts.Abstrak: Artikel ini mengkaji praktik pengusiran terhadap pelaku zina muhshan dalam masyarakat Panyabungan yang secara normatif (hukum Islam) seharusnya diberi hukuman rajam. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji karena masyarakat Panyabungan pada dasarnya termasuk penganut Islam yang sangat fanatis dan kuat beragama. Artikel ini didasaran pada data-data lapangan yang dilengkapi dengan data-data kepustakaan. Ada tiga persoalan mendasar yang dikaji dalam artikel ini, yakni proses pemberlakuan hukum adat bagi pelaku zina muhshan pada masyarakat Panyabungan, argumen diterapkannya hukuman pengusiran terhadap pelaku zina muhshan, dan bagaimana hukum Islam memandang praktik hukuman pengusiran dalam kasus perzinahan tersebut. Menggunakan pendekatan normatif-sosiologis, artikel ini menemukan fakta bahwa praktik pengusiran terhadap pelaku zina muhshan di Panyabungan diberlakukan apabila pelaku telah terbukti melakukan perzinahan. Praktik hukuman pengusiran terhadap pelaku zina muhshan tersebut dilakukan karena dua alasan, yakni mengikuti tradisi atau adat-istiadat yang telah berlaku dan tidak dimungkinkannya penerapan hukum rajam di Indonesia. Artikel ini juga menemukan bukti bahwa perapan hukuman pengusiran bagi pelaku zina muhshan di Panyabungan dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku zina dan sekaligus sebagai upaya preventif bagi masyarakat supaya tidak melakukan perzinahan. Selain itu, hukuman tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kebersihan desa dari tindakan kemaksiatan.

Page 1 of 1 | Total Record : 8